Pangeran Sudimoro, putra mahkota kerajaan
Majapahit yang tidak ingin menjadi putra mahkota kerajaan, meninggalkan
kerajaan Majapahit dan berguru mencari ilmu. Ia pergi ke Tuban mencari
Guru Ilmu Syariat , Tarekat, Hakikat, dan Marifat, sesuai dengan
petunjuk Syekh Jumadil Kubra, beliau disuruh menemui Syekh Abdullah
As’ari (Sunan Bejagung). Setelah sampai di Tuban, dan bertemu dengan
Syekh Abdullah As’ari (Sunan Bejagung), kemudian Pangeran Sudimoro
mengaji kepada beliau sampai menjadi orang Alim.
Ketika pangeran Sudimoro
masih mengaji di Kasunanan Bejagung, Prabu Hayam wuruk (Prabu Brawijaya
IV) berusaha mencarinya. Setelah mengetahui bahwa putranya berada di
Padepokan Sunan Bejagung Tuban untuk mengaji, maka Prabu Brawijaya IV
memerintahkan Patihnya bernama Gajah Mada dengan bala tentara berangkat ke Tuban untuk mengajak Putra Mahkota (Pangeran Sudimoro) pulang ke Majapahit.
Berita tersebut didengar oleh
Pangeran Sudimoro. Beliau menghadap kepada Sunan Bejagung meminta
perlindungan dan bantuan kepada Sunan Bejagung untuk menolak keinginan
Sang Prabu Hayam Wuruk. Sebab Pangeran Sudimoro ingin tetap menekuni
ilmu Agama Islam. Kehendak Pangeran Sudimoro tersebut dikabulkan oleh
Sunan Bejagung.
Selanjutnya Sunan Bejagung menggaris tanah mengitari Padepokan Kasunanan Bejagung, Agar tentara Majapahit tidak bisa masuk Kasunanan Bejagung. Ketika mahapatih Gajah Mada yang tersohor dengan ilmu Barat Ketiga dan
bala tentara Majapahit hendak menjemput pangeran Sudimoro di kasunanan
Bejagung. Ternyata tentara Majapahit tidak bisa masuk ke kasunanan
Bejagung. begitu juga dengan mahapatih Gajah mada yang terkenal dengan
ilmunya Barat Ketiga (ilmu kecepatan angin kemarau). Garisan tanah yang dibuat oleh Sunan Bejagung Lor tersebut dikenal dengan nama Siti Garet. Masyarakat sekitar memandang bahwa Siti Garet merupakan fenomena gaib. Tidak semua orang yang dapat melihatnya. Selain itu, Siti Garet merupakan
tempat untuk bersembunyi para pejuang ketika dikejar-kejar tentara
Belanda. Kalau pejuang masuk kasunanan tersebut, para tentara Belanda
tidak bisa ikut masuk. Karena pandangannya terhalang oleh kabut. Selain
itu, adanya Siti Garet juga mempengaruhi pandangan para pejabat
negara dan kerajaan. Apabila pejabat negara telah lancang masuk ke
Kasunanan Bejagung – memiliki niat yang tidak baik, maka pejabat negara
tersebut dalam waktu dekat akan lengser dari jabatannya. Sampai sekarang
pandangan tersebut masih ada dalam pandangan sebagian masyarakat dan
para pejabat negara di Indonesia. Semua itu dilandasi dengan adanya
pasukan dan pejabat kerajaan Majapahit yang tidak dapat masuk Kasunanan
ketika akan menjemput pangeran Sudimoro putra Mahkota Majapahit.
Pasukan-pasukan Majapahit dan
bala tentara gajah akhirnya terhenti di sebelah selatan Kasunanan.
Salah seorang santri melapor kepada Sunan bahwa di sebelah selatan
Kasunanan Bejagung banyak pasukan Gajah dari Majapahit. Sunan
mengatakan: “itu tidak gajah tetapi batu”. Seketika itu semua gajah
berubah menjadi batu. Sampai sekarang, tempat berhentinya pasukan gajah
tersebut dikenal dengan sebutan Watu Gajah (Batu Gajah). Letaknya di sebelah Barat Laut kantor Kecamatan Semanding.
Pangeran Sudimoro yang
terkenal rajin mengaji dan alim, kemudian diberikan gelar Pangeran
Pengulu/Syekh Hasyim Alamuddin (sekarang dikenal dengan sebutan Sunan
Bejagung Kidul) oleh Syekh Abdullah As’ari. Akhirnya, diambil menantu
oleh Syekh Abdullah As’ari dan ditetapkan menjadi penerus di Kasunanan
Bejagung. Semenatara Syekh Abdullah As’ari Uzlah (berpindah tempat) di
sebelah utara Kasunanan dan mendapat sebutan Sunan Bejagung Lor.
IKAN DODOK DARI DAUN WARU
Setelah seluruh pasukan
gajah dari Majapahit menjadi batu, para pasukan Majapahit kembali dan
Lapor kepada Prabu Hayamwuruk. Bahwa semua pasukan Gajah dari Kerajaan
Majapahit menjadi batu di Tuban. Kemudian Sang Prabu memerintahkan
kepada Patih Gajah Mada (terkenal dengan ilmu Barat Ketigo). Untuk menguji sampai sejauh mana ilmu Sunan Bejagung.
Patih Gajah Mada berangkat
lagi tanpa bala tentara menuju pesisir utara Kadipaten Tuban, ia
menyamar dan menggunakan nama Barat Ketiga (suatu nama
ilmu tinggi yang dimilikinya). Ia mengaduk aduk air laut Tuban sampai
keruh dan berpura-pura mencari ikan Dodok. Setelah diketahui oleh Sunan
Bejagung, Barat Ketigo ditanya oleh Sunan Bejagung, jawabannya Barat
Ketigo sedang mencari ikan dodok, karena adiknya hamil dan ngidam ingin
makan ikan Dodok.
Akhirnya Sunan Bejagung
mengambil lontar untuk dibuat timba. Barat Ketigo diperintahkan
mengambil daun waru. Setelah timba dari lontar tersebut diisi dengan air
dan daun waru dimasukkan kedalam timba, seketika itu daun waru menjadi
ikan Dodok. Kejadian ini diingat oleh Masyarakat Bejagung. Bahwa sampai
sekarang apabila mengadakan kenduri atau sedang bersih desa selalu
menggunakan lauk ikan Dodok.
MOJO AGUNG
Barat Ketiga ingin menguji
lagi Kesaktian Sunan Bejagung Lor. Ia pergi ke perdikan Bejagung.
Setelah berada di ladang Sunan Bejagung, ia menggoyang pohon Kelapa.
Sunan Bejagung bertanya, “untuk apa menggoyangkan pohon Kelapa?” Barat
Ketigo menjawab bahwa ia haus. Sunan Bejagung berkata, “Kalau digoyang
keras yang muda ikut jatuh dan tidak bisa dimanfaatkan lagi buahnya.”
Akhirnya Sunan Bejagung mengambil buah kelapa dengan cara merebahkan
pohon kelapa dengan cangkul. Barat Ketigo dengan mudah bisa mengambil
buah kelapa yang sudah tua, tanpa merusak kelapa yang masih muda.
Kemudian pohon kelapa dikembalikan tegak berdiri seperti semula.
Ia kagum atas kesaktian Sunan
Bejagung. Tetapi ia masih belum puas, setelah ia meminum air kelapa, ia
pura-pura masih haus. Ingin masih ingin minum air lagi.
Setelah kepura-puraannya itu disampaikan kepada Sunan Bejagung,
kemudian Kanjeng Sunan berkata,“Kalau demikian, tunggu di sini, saya
ambilkan air.” Tidak lama kemudia Sunan Bejagung mengambil air,
dimasukkan ke dalam buah Maja kecil (disebut Mojo berduri).
Melihat ulah Sunan Bejagung Lor yang aneh tersebut, Barat Ketigo tertawa
karena air yang sedikit itu dimasukkan ke dalam buah Maja yang dibelah
menjadi dua bagian. Ia menganggap mana mungkin air dalam buah Maja itu
dapat menghilangkan rasa haus. Ternyata setelah air itu diminum, air
yang ada di dalam Maja tersebut masih utuh dan tidak habis-habis.
Sehingga buah Maja tersebut disebut Mojo Agung. Kemudian dari peristiwa tutur mulut ke mulut pada akhirnya berubah menjadi Beja Agung, kemudian
menjadi Bejagung dan dijadikan nama desa Bejagung sampai sekarang.
Selain itu juga dipakai sebagai sebutan nama lain dari syekh Abdullah
As’ari.
Akhirnya Barat Ketigo merasa
kalah sakti dan menyatakan diri untuk menjadi Santri Kanjeng Sunan
Bejagung (Syekh Abdullah As’ari). Sampai meninggal dunia ia tetap
menjadi Santri Kanjeng Sunan Bejagung Lor. Setelah ia wafat dimakamkan
tak jauh dari Kasunanan Bejagung Kidul tepatnya di Desa Prunggahan
Wetan, dan sampai sekarang terkenal dengan sebutan Makam Panjang